Cerita Dewasa Santy Bodi Mu Mulus Banget. cerita dewasa,
cerita sex, cerita panas, cerita seks, cerita mesum, cerita hot, cerita
bokep, cerita ngentot, ngentot artis, foto sexy, abg bugil, foto seksi,
foto hot, foto mesum, foto panas, cewek bugil
Santy sebenarnya adalah kenalan lamaku. Dia dulu seorang PSK. Aku
mengenalnya ketika ia masih menjalankan pekerjaan lamanya tersebut.
Waktu itu aku masih kuliah. Satu sore sepulang dari daerah Cideng, aku
melewati wilayah Tanah Abang yang secara harfiah berarti tanah merah.
Dan memang daerah ini dikenal sebagai daerah merah. Karena haus aku
mampir ke sebuah kedai dan memesan minum.
Di dalam kedai ada
seorang wanita yang berdandan sederhana, tidak ada riasan wajah menyolok
atau pakaian yang mengundang. Aku duduk di depannya.
"Baru pulang kerja, Mas?" tanyanya ramah.
"Iya," jawabku singkat. Sebenarnya tidak, karena waktu itu aku memang belum bekerja.
Ia
mulai memberiku beberapa pertanyaan lagi dengan nada yang ramah, namun
mulai mengarah dan akupun dapat menduganya bahwa ia salah satu wanita
yang sedang mencari mangsa. Akupun tahu namanya, Santi, asalnya Tegal.
Tingginya sekitar 155 cm dengan dada cukup besar.
Akhirnya pertanyaan pokokpun terucap dari mulutnya.
"Istirahat dulu, Mas?"
Aku pura-pura bodoh dan tidak tahu arah pembicaraannya.
"Istirahat di mana? Ini juga mau pulang, istirahat di rumah," kataku.
"Ah Mas ini. Jangan pura-pura. Kita ke kamar yuk!" ajaknya.
Akhirnya setelah tercapai kesepakatan, singkat cerita kami sudah berada di dalam kamar hotel kumuh yang bertebaran di sana.
Segera kupeluk dan kucium dia, tetapi dia menolaknya.
"Kita mandi dulu deh Mas!" katanya.
Tumben
pikirku, kok ada PSK yang menyuruh tamunya mandi dulu sebelum
berkencan. Sepertinya mulai ada kesanku secara khusus terhadapnya.
Pada
waktu mandi, kusabuni punggung dan payudaranya kemudian kusiram dengan
air dan mulai kusedot putingnya. Ia hanya menggerinjal dan berkata"Sabar
dulu Mas, nanti saja". Namun tangannya tidak menolakku, bahkan
tangannya yang menyabuni penisku dengan cermat sampai bersih. Tangannya
tidak berusaha mengocok selama berada di penisku, benar-benar hanya
menyabuni dan membersihkannya.
Selesai mandi dan mengeringkan tubuh, ia segera kupeluk di atas ranjang.
"Ihh
Mas ini beber-benar nggak sabaran deh. Tuh kan kalau sudah mandi badan
jadi seger!" katanya. Aku diam saja dan mulai memainkan payudaranya.
"Sebentar Mas, berbaring aja dulu!" katanya sambil menelentangkan badanku.
Diambilnya cologne biasa, bukan merk mahal, dan diusapkannya di dadaku dan ketiakku.
"Biar harum", katanya.
Aku
semakin terkesan dan mulai menikmati tindakannya. Rasanya dengan uang
yang kukeluarkan aku bisa mendapatkan lebih dari yang kuharapkan.
Setelah itu barulah ia menciumku dengan lembut. Berdasar cerita dan
pengalamanku tidak setiap PSK mau melayani tamunya berciuman bibir.
Namun Santi mencium bibirku dengan lembut dan semakin lama semakin kuat
menyedot bibirku.
Kini dia mencium dan mengusap dadaku yang
berbulu, kemudian terus ke bawah dan akhirnya penisku yang masih kecil
diisapnya. Tak lama kemudian penisku pun membesar akibat rangsangan yang
diberikan. Sungguh pandai ia memainkan mulut dan lidahnya di sekujur
penisku. Setelah beberapa lama ia menghentikan aksinya dan berbaring
telentang. Aku tahu ia ingin aku segera menyelesaikannya.
Kutindih
dan kucium bibirnya. Tak lama kemudian dengan arahan tangannya penisku
sudah menembus liang vaginanya. Kurasakan iapun membalas dengan penuh
gairah setiap serangan yang kulancarkan, namun aku tidak tahu apakah dia
benar-benar menikmati atau hanya sekedar servis terhadap tamunya. Lima
belas menit kemudian tubuhku sudah mengejang di atasnya. Ia tersenyum
dan mengajakku membersihkan badan.
Selesai membersihkan badan,
kami masih sempat ngobrol-ngobrol sebentar hal-hal mengenai dirinya.
Ketika kutanya apakah namanya hanyalah nama profesi atau nama
sebenarnya, ia mengeluarkan KTP-nya dan menyerahkannya padaku. Kubaca,
"Rosanti". Sekilas kulihat tanggal lahirnya, berarti ia sekarang dua
puluh delapan, sementara aku waktu itu masih dua puluh tiga. Karena kami
kamar yang kami sewa menggunakan cara jam-jaman dan kulihat waktu telah
habis, maka kamipun keluar dan aku segera pulang. Kesan yang timbul
padaku, bahwa ia pun menyukaiku lebih dari sekedar PSK dan pelanggannya.
Beberapa
hari kemudian, pada suatu siang aku lewat Tanah Abang lagi. Hanya
sekedar lewat, namun aku juga berharap dapat bertemu dengan Santi lagi.
Ketika berjalan dalam sebuah gang sempit, kulihat dari belakang
sepertinya Santi. Kupercepat langkahku dan kujejerkan langkahku. Kulihat
dari samping ternyata memang Santi.
"San.. Santi ya? Masih ingat aku nggak?" tanyaku setelah berjalan di sampingnya.
Ia
menoleh sambil menghentikan langkahnya. Menatapku dan mengingat-ingat,
akhirnya, "Mas kan yang minggu lalu sama aku? Namanya.. Ennggh.."
katanya.
Kupotong kata-katanya, "Anto," sahutku.
"Ya, Mas Anto. Baru aku ingat", jawabnya, "Mau ke mana?" sambungnya.
"Enggak, ini mau pulang, kebetulan lewat sini. Siang-siang kok sudah pulang?" tanyaku.
"Aku belum pulang mulai tadi malam. Sekarang baru bisa pulang dan mau istirahat".
Aku diam dan berpikir sejenak. Melihatku kelihatan ragu dia bertanya, "Mau istirahat lagi?"
"Boleh deh," kataku mengiakannya.
Dia
tidak jadi pulang dan kembali kami berkencan di hotel yang sama. Namun
kali ini aku ambil sewa kamar selama dua jam. Dengan perlakuan yang sama
seperti kemarin ia melayaniku. Setelah kutembakkan laharku, kami
sama-sama berbaring ngobrol sampai waktu habis. Ketika aku mengeluarkan
dompet, ia berkata.
"Nanti aja, sekarang kita ke kontrakanku yuk!"
Akupun
menurut saja dan mengikutinya ke rumah. Kembali kami mengobrol di
kontrakannya. Ia tinggal bersama pemilik rumah, dan pemilik rumahnyapun
mengerti dan mau menerima keadaannya. Ketika pulang, kembali kuambil
uangku, namun ia tetap menolak dan berkata.
"Untuk ongkos pulang kamu saja ke Bogor!"
Setelah
itu kami sering bertemu. Namun tidak setiap kali bertemu kami lalu
bergulat di atas ranjang. Kadang kami hanya mengobrol saja. Kalau tidak
ada di hotel, kucari dia di kontrakannya. Santi kadang masih menolak
uang pemberianku, tetapi kalau aku lagi ada obyekan kecil, kupaksa dia
untuk menerimanya. Dia menyatakan senang kalau ngobrol denganku.
"Ada yang mau mendengarkan dan mengerti sisi hitam dari jalan hidupku," katanya.
Aku
sendiri mengatakan, kalau ada kesempatan untuk berhenti, maka
berhentilah dari pekerjaannya dan membuka usaha atau pekerjaan yang
lain.
Suatu ketika aku mencarinya di hotel. Kata penjaga hotel
dia sudah pulang belum lama tadi. Kususul ke rumahnya. Ia sedang mandi.
Tak lama kemudian ia sudah menemuiku di ruang tamu. Ia mengenakan gaun
hitam panjang dengan belahan sebelah setinggi lutut. Kakinya yang
mengenakan sepatu hak tinggi membuat ia semakin menarik. Kupikir-pikir
ia mirip dengan Yuni Shara, hanya saja kulitnya lebih gelap.
"Mau kemana. Kok rapi sekali?" kataku.
"Kebetulan
ada kamu. Anterin ke Pasar Minggu yuk. Aku mau beli gelang kaki di toko
emas langgananku. Dulu aku punya, namun putus dan kujual," jawabnya.
Akhirnya
kami berjalan ke depan menunggu Metro Mini yang ke arah Pasar Minggu.
Panas matahari terasa menyengat kulit. Setengah jam menunggu belum ada
juga Metro Mini yang kami tunggu. Cuaca semakin panas.
"Panas, San. Kita istirahat saja dulu yuk. Entar sore aja ke Pasar Minggunya!" ajakku.
Ia setuju. Kamipun masuk ke dalam kamar. Kali ini dia yang memilih kamar ke penjaganya.
"Kamar yang di sudut," katanya.
"Sama aja. Emangnya apa bedanya?" tanyaku.
Ia
tersenyum saja. Setelah mengambil kunci maka kami masuk ke dalam kamar
yang dimaksudkannya. Isi dalam kamr tidak berbeda dengan kamar lainnya.
Sebuah bed standar, kipas di langit-langit, lemari dan kamar mandi.
Namun ketika kulihat di dinding, maka ada cermin yang dipasang memanjang
sejajar dengan arah bed.
"Ooo, ini toh bedanya.." kataku.
"Tidak
semua kamar ada cerminnya. Aku tahu beberapa kamar yang dipasang
cermin. Dulu-dulu selalu tidak pernah kebagian kamar ini".
Ia membaringkan badannya. "Tidak mandi?" tanyaku.
Ia mengeleng, "Tidak, aku kan baru saja mandi. Kamu saja mandi yang bersih!"
Aku
mandi dengan cepat dan yang penting kusabuni meriamku sampai bersih.
Kulihat sudah mulai membesar tidak sabar untuk menembakkan pelurunya.
Selesai
mandi aku keluar dari kamar mandi dengan berlilitkan handuk. Kulihat
Santi sedang berdiri dan mulai membuka kancing gaunnya. Kupeluk dia dari
belakang dan tanganku membantunya melepaskan kancing dan bajunya.
Seperti biasanya ia mengenakan celana dan bra hitam transparan sehingga
apa yang ada di baliknya terlihat membayang. Setelah bra-nya terlepas,
kurems-remas payudaranya dari bagian bawahnya. Kucium leher dan telinga
kirinya, tangan kirinya terangkat dan kemudian menarik rambutku.
Handukku terlepas setelah tangannya yang lain menarik ikatannya.
Kutekankan
selangkanganku di atas belahan pantatnya. Penisku yang sudah mulai
siaga segera terarah ke atas setelah menempel di pinggangnya. Kulepaskan
tangannya dan mulutku kemudian menyapu seluruh punggungnya. Dengan
gigiku kulepas kaitan bra-nya dan dengan berjongkok kugigit ban celana
dalamnya, kutarik ke bawah dan kuteruskan dengan tangan untuk
melepasnya.
Kupondong dan kubawa di ranjang. Aku berdiri dengan
posisi menghadap ranjang dan Santi berbaring miring, dia dengan lahap
menghisap kejantananku. Dijilatinya lubang kencingku, sedang tangannya
memegang dan mengocok batang penisku kemudian memijat-mijat buah
zakarku.
"Hhmm.. Terus San. Enak.. Ohh.. Aaagak keraas Saantiihh..".
Setelah
beberapa menit menjilati kejantananku, aku melepaskan penisku dari
mulutku. Kubuka kakinya lebar-lebar, tercium aroma yang khas namun
segar.
"Mau diapain To?"
"Tenang aja, Aku juga ingin jilatin milikmu"
"Enggak usah To. Jangan.. Jang.. Ngan!"
Tanpa
menunggu kata-kata yang akan diucapkannya lagi, aku langsung
menjulurkan lidahku menuju lubang vaginanya. Dia hanya bisa merintih.
"Oooh.. Ssshhtt.. To.."
Tangannya menjambak rambutku. Lidahku mulai mengarah ke klitorisnya. Jambakannya bertambah kuat dan desahannya semakin menjadi.
"Tteeruus.. Saayaanghh.. Ooohh!"
Aku
semakin cepat menggerakkan lidahku berputar-putar dan menjilati
klitorisnya. Sesekali aku menyedotnya dengan keras. Beberapa detik
kemudian kedua tangannya menekan kepalaku dengan kuat sehingga aku
sedikit susah bernafas. Aku semakin kuat menjilati klitorisnya.
Kuhentikan
gerakan lidahku. Kutindih tubuhnya dan wajahnya kulihat tersenyum.
Sambil berciuman tangan kananku menjelajah ke selangkangannya. Dia
semakin agresif menyedot bibirku. Bibirku turun ke lehernya, kujilat
lehernya dan beralih ke dadanya. Kuisap putingnya dan sesekali kugigit
belahan dadanya.
"Ssshh.. To.. Ahh.. Shh..".
Tangan
kanannya meraih batang penisku yang sedari tadi sudah mengeras.
Kurasakan nafasnya sudah mulai tak teratur. Dia meremas penis